Ini adalah kelanjutan dari kisah "Zinah". Setelah si wanita digunduli dan diarak keliling kampung dengan tangan diikat kebelakang sambil menyunggi sebuah bakul, akhirnya si wanita itu dilepas juga oleh warga. Untuk selanjutnya si wanita itu kita sebut saja sebagai si gundul.
Selama dalam perjalanan diarak, si gundul melihat beberapa teman sekomplotnya juga ikut menontonnya dipinggir jalan. Tapi antara si gundul dan teman-temannya pura-pura tidak saling kenal.
Setelah selesai diarak, si gundul buru-buru mengontak komplotannya. Ia bermaksud untuk membalas dendam kepada salah seorang dari mereka yang menangkapnya. Dan yang diarah adalah si wanita yang menggunduli rambutnya. Ia segera menyusun siasat. Ia berpura-pura minta tolong untuk diantar pulang oleh si wanita yang menggunduli rambutnya, karena ia malu dan takut. Untuk selanjutnya si wanita yang menggunduli rambut si gundul kita sebut saja sebagai tukang cukur.
Si tukang cukur tidak bisa menolak permintaan si gundul. Mereka berdua berjalan beriringan. Tapi ketika sampai di tempat yang sepi dan gelap, teman-teman si gundul segera menangkap dan mengikat tangan si tukang cukur serta membekap mulutnya. Si tukang cukur itu segera mereka bawa masuk ke dalam mobil mereka. Dan mobil itu pun segera meluncur pergi.
Setelah tiba di suatu tempat, mereka segera turun dari mobil. Si gundul dan si tukang cukur itu pun juga ikut turun. Mereka masuk ke dalam rumah. Di rumah itulah si gundul melampiaskan dendamnya kepada si tukang cukur.
Pertama-tama si gundul membuka tutup mulut si tukang cukur. Didudukkannya si tukang cukur di lantai dalam posisi bersimpuh. Si tukang cukur sudah sejak dari tadi ketakutan dan meneteskan air matanya. Si gundul meraba wajah si tukang cukur dan mengusap air mata si tukang cukur sambil berkata, "Kamu kok ketakutan sekali sampai nangis. Jangan takut, kami semua teman-temanmu". Lalu diriasnya ulang wajah si tukang cukur yang berantakan dan luntur makeupnya.
Sesudah itu ia mengambil gunting dan memperlihatkannya di depan si tukang cukur sambil berkata, "Kamu tahu kan ini benda apa ? Ini adalah gunting yang kamu pakai untuk menggunduli rambutku sampai licin". Dipermainkannya gunting itu dengan gerakan membuka dan menutup di depan mata si tukang cukur. Sekali-kali ia memutar ke belakang si tukang cukur sambil terus melakukan gerakan membuka dan menutup guntingnya. Si tukang cukur jadi semakin ketakutan. Ketika si gundul memutar ke belakangnya, si tukang cukur juga ikut menoleh ke belakang.
Tapi akhirnya si gundul malah duduk di punggung si tukang cukur sambil berkata, "Gimana enaknya teman-teman ? Dia perlu aku gunduli nggak ya ?" . Si gundul tidak hanya duduk di punggung si tukang cukur, kadang-kadang ia mengentul-ngentulkan tubuhnya. Tapi semua teman-temannya diam membisu. Maka si gundul melanjutkan celotehnya, "Non, kalau kamu aku gunduli gimana ? Mau ya ? Biar kita impas, jadi sudah tidak ada dendam lagi. Ini tidak seberapa kok dibandingkan dengan yang aku terima. Sudah digunduli, masih diarak keliling kampung sambil diikat tangannya sama nyunggi bakul. Belum masih diejek sama orang-orang yang nonton. Kamu mau ya ?". Dipegangnya dagu si tukang cukur dan ditolehkannya ke belakang menghadap dirinya. Si tukang cukur diam saja.
Si gundul terus berceloteh, "Duh, kok diam saja sih. Tidak mengangguk, tidak menggeleng. Apa kamu minta hukuman yang lain ? Omong saja, nanti aku pertimbangkan dengan seadil-adilnya, Tapi cepat dikit dong njawabnya. Biar aku tidak kecapaian nunggunya. Sementara kamu berpikir, aku mau duduk istirahat dulu di sini. Boleh kan non aku numpang duduk di punggungmu". Dan si gundul itu tetap saja duduk di punggung si tukang cukur yang semakin sengsara karena ketakutan dan merasakan beratnya beban tubuh si gundul.
Sebentar kemudian si gundul makin menjadi-jadi. Ia berkata, "Ah, panasnya pakai kain kebaya. Aku mau lepas pakaian dulu". Kemudian dilepasnya kebaya, kain wiron, stagen dan korset hingga ia tinggal memakai pakaian dalam. Lalu ia kembali duduk di punggung korbannya. Ia duduk mengangkang sambil mengelus dan memegang-megang rambut serta konde si tukang cukur. Ia berkata, "Tebalnya rambutmu, hitam lagi. Kalau sudah ku potong habis, boleh dong aku minta buat aku jadikan wig". Si tukang cukur makin keder. Melihat hal ini si gundul semakin senang dan berkata, "Kamu jangan takut sampai nangis gitu dong, aku saja yang kamu gunduli nggak nangis. Yang tabah, yang tegar. Karena dari tadi kamu diam membisu saja, maka aku simpulkan kamu memilih untuk di gundul dan tidak mau hukuman lain. Aku mulai saja ya nggunting rambutmu. Daripada nanti-nanti, apa kamu nggak capai sama kepanasan pakai kain kebaya kayak gitu. Aku kasihan lho lihat kamu. Gimana ? Okey ?". . . . .
Tidak ada komentar :
Posting Komentar