Tentunya kita semua sudah mengetahui yang namanya pesiar. Itu adalah suatu kegiatan yang bersifat tidak formal, tapi kasual dan santai serta tentu saja tujuan utamanya adalah membuat kita relaks sekaligus melepaskan diri dari kegiatan rutin sehari-hari yang membuat stress seperti bekerja dengan bepergian ke suatu tempat yang bisa jadi jauh dari tempat kita berada sehari-hari. Seperti misalnya pesiar ke pantai atau ke pegunungan.
Dengan demikian tentu saja pakaian yang kita pakai juga menyesuaikan dengan tujuan pesiar kita, yang pada umumnya bersifat tidak formal dan santai serta memudahkan kita untuk melakukan kegiatan selama bepergian. Untuk pergi ke tempat tropis dan panas seperti pantai misalnya pilihan pakaiannya bisa berupa bikini, baju pantai, celana pendek, rok pendek dan yang sejenisnya. Demikian pula jika kita akan bepergian ke gunung, maka kita akan mengenakan pakaian yang tebal seperti jaket, sweater, celana panjang dan yang sejenisnya.
Tapi tidak demikian halnya dengan para putri keraton di Jawa. Busana mereka sehari-hari yaitu kain wiron dan kebaya yang sudah cukup ribet untuk ukuran orang sekarang serta masih ditambah dengan sanggulan, jika mereka bepergian masih tetap mereka pakai. Itu malah masih ditambah dengan topi yang ada bulunya dan rimong beludru yaitu sejenis bolero dengan tepian bulu. Bisa dibayangkan betapa gerahnya. Apalagi jika bepergiannya bukan ke tempat yang cuacanya sejuk, tapi ke tempat yang cuacanya tropis hangat. Bisa-bisa berkeringat terus menerus.
Perlu diketahui bahwa pakaian pesiar keraton ini bersifat umum. tidak tergantung tempat tujuan bepergian dan memang hanya ada satu macam itu saja yaitu kebaya, kain wiron, rimong beludru ditambah topi berbulu. Jadi tidak ada pengecualian. Misalnya jika ke pantai. Maka tidak perlu memakai kebaya pendek berlengan panjang, tapi cukup memakai kebaya pendek yang juga berlengan pendek atau hanya memakai kutang atau malah cukup dengan kembenan. Demikian juga dengan kain wironnya. Misalnya boleh dipakai dengan lebih tinggi sehingga bagian bawahnya tidak sampai ke mata kaki, tapi cukup sampai ke paha. Dengan demikian tidak perlu repot-repot untuk mencincingnya tinggi-tinggi. Memang jika untuk bepergian ketempat yang sejuk, pakaian pesiar keraton ini cukup sesuai. Karena bisa memberikan kehangatan dengan tambahan topi dan rimong beludru.
Memang kalau dipikir sangat sulit menjadi putri keraton di jaman dulu. Harus selalu mematuhi protokol yang berlaku di masa itu. Bahkan ketika bepergian pun harus mengenakan pakaian seribet macam itu dan hal ini juga berlaku ketika mereka berkuda. Tapi efek positifnya penampilan mereka tetap anggun dan gerak mereka yang lambat memberi efek lemah gemulai. Sehingga martabat kebangsawanan mereka tetap terjaga dalam segala tingkah laku mereka. Mungkin lantaran itulah ada pepatah Jawa yang mengatakan "alon-alon waton kelakon". Pelan-pelan asal terlaksana. Maklum mereka memakai kain wiron yang bawahnya sempit bukan main hingga sulit untuk melangkah. Jika melangkah. langkah mereka kecil-kecil. Demikian juga dengan kebaya dan stagen yang menghimpit badan serta lengan panjang kebaya yang membuat tangan harus berhati-hati supaya lengan kebaya tidak rusak atau kotor.
Hal ini jugalah mungkin sekarang yang menjadi dilema bagi para wanita Jawa khususnya dan bagi para wanita Indonesia pada umumnya. Mau melestarikan busana tradisional dan nasionalnya, tapi ribet. Mau meninggalkan busana tradisional dan nasionalnya, terus siapa lagi yang mau menguri-uri kalau bukan diri kita sendiri ? Mau dimodifikasi biar praktis, bisa-bisa melenceng dari pakemnya. Quo vadis busana tradisional Jawa dan sekaligus busana nasional Indonesia ?
Tidak ada komentar :
Posting Komentar