Ini adalah kelanjutan dari cerita sebelumnya yang berakhir dengan kebingungan Sri dalam menangani kelainan yang diidap suaminya yaitu
suka memakai kain kebaya dan disiksa serta tidak bergairah lagi
kepadanya. Diam-diam ia menangis di dalam hatinya dan menyesali apa yang
telah terjadi selama ini. Ia pun sempat meminta saran yang diunggahnya
di internet.
Kalau saja ia tidak dipaksa oleh mertuanya untuk
memakai kain kebaya sesudah melahirkan. Atau kalau saja suaminya tidak
menjadi brutal dan hanya sebatas bergairah yang menggebu-gebu kepadanya.
Maka ia tentu tidak akan keberatan menuruti kemauan suaminya untuk
sering-sering memakai kain kebaya. Sehingga semuanya tidak perlu
berakhir seperti ini. Dan tentu saja hubungannya dengan suaminya masih
tetap harmonis dan serasi serta suaminya masih tetap bisa memuaskannya.
Karena suaminya masih bisa melihat dan mencumbunya dengan memakai kain
kebaya.
Tapi sekarang semuanya berakhir dengan tidak seperti yang
diharapkannya. Suaminya tidak lagi bergairah kepadanya, tapi menjadi
seperti seorang banci yang suka memakai kain kebaya. Suaminya yang dulu
bisa memuaskan hasratnya dan menjadi brutal karena melihat ia memakai
kain kebaya. Sekarang menjadi seperti seorang banci, karena keinginannya
untuk melihat isterinya berkain kebaya tidak kssampaian. Keinginan
untuk mengasari seorang wanita cantik yang berkain kebaya tidak
kesampaian dan berakhir dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai si
wanita yang berkain kebaya dan disiksa. Alangkah tragisnya ! Begitulah
pikir Sri.
Sementara aku sendiri sekarang sudah beberapa kali
mengasari dan menyiksa serta melakukan kekerasan fisik pada suamiku.
Mengapa aku sekarang menjadi sekasar ini ? Perenungan Sri terus
berlanjut. Mengapa pula aku justru menikmati keadaan ini ? Mendominasi,
memaksa, mengikat dan menyiksa suami.
Keadaannya sekarang jadi
terbalik jika dibandingkan dengan dahulu ketika aku masih memakai kain
kebaya dan didominasi oleh suamiku. Dulu aku manjadi submissive dan
suamiku menjadi seorang dominan, sekarang aku menjadi seorang dominan
dan suamiku menjadi seorang submissive. Apakah aku sekarang juga
mengidap kelainan ? Atau apakah semua ini hanya berupa kompensasi
karena aku dendam terhadap perlakuan kasar suamiku dulu. Lebih gila
manakah aku sama suamiku ?
Begitulah pikiran Sri berkecamuk. Belum
lagi ada saran yang masuk dari pembaca tulisannya di internet yang
mengatakan kalau suaminya sebaiknya dibiarkan saja mengidap kelainan
gila kain kebaya. Bahkan justru si penyumbang saran mengusulkan supaya
suaminya disiksa dengan lebih kejam lagi. Sri ragu apakah cara ini akan
berhasil, karena seorang yang mengidap masochisme atau suka disiksa akan
semakin senang dan terpuaskan bila yang bersangkutan semakin disiksa
dengan lebih kejam.
Belum lagi usulan yang mengatakan bagaimana
kalau dibawa keluar rumah. Usul ini bagi Sri seperti ide gila. Bukankah
dengan demikian, maka ia seperti memperlihatkan kepada setiap orang
bahwa suaminya mengidap kelainan seperti banci.
Bagaimana ia bisa
mengembalikan kepercayaan diri suaminya ? Bagaimana ia bisa
membangkitkan lagi gairah suaminya kepadanya ? Dengan berdandan cantik
dan memakai kain kebaya ? Hal ini sudah ia lakukan sewaktu menghadiri
pernikahan keluarga dekatnya dan suaminya hanya berani sebatas
memandanginya saja tanpa berani mencumbunya. Apakah suaminya masih bisa
disembuhkan dari kelainan yang diidapnya. Semakin kalutlah pikiran Sri,
hingga ia tidak kuasa untuk menahan tangis.
Kalau dipikir-pikir
semuanya ini hanya berawal dari hal yang sepele. Sebuah pakaian. Pakaian
yang tidak terlalu istimewa, bahkan bisa dibilang kuno dan ketinggalan
jaman. Pakaian adat Jawa yang sudah diangkat menjadi busana nasional.
Pakaian yang sebetulnya sangat sederhana saja yaitu sebuah atasan berupa
sebuah blouse lengan panjang yang ngepas di badan dengan kupnat yang
semakin memperjelas bentuk badan terutama pinggang, payudara dan juga
pinggul. Bukannya sebuah blouse off shoulder berenda yang memperlihatkan
keindahan bahu pemakainya. Bawahannya pun sederhana saja yaitu berupa
selembar kain batik yang dipakai dengan dililitkan di kaki sampai
menutupi mata kaki hingga menutupi keindahan betis pemakainya dengan
ketat serta membentuk siluet pinggul yang membesar. Bukannya sebuah rok
mini yang memperlihatkan keindahan kaki pemakainya atau rok tumpuk yang
penuh dengan renda dan detil yang indah. Semuanya jauh dari kesan
glamour. Coba bandingkan dengan gaun malam yang indah dan mewah atau
strapless mini dress yang sexy. Tapi justru dalam kesederhanaannya
itulah kain kebaya sangat ampuh untuk memperlihatkan dengan jelas
siluet tubuh yang indah dari pemakainya.
Apakah dengan demikian
masih sesuai dengan hakikat sebuah busana nasional bagi sebuah bangsa
Timur yang terkenal dengan adat istiadat dan kesopan santunan serta
kelemah lembutannya ? Atau apakah yang salah dalam hal ini adalah mata
para lelaki yang selalu jelalatan dan terlalu bernafsu jika melihat
seorang wanita yang berpakaian menonjolkan keindahan dan lekuk tubuhnya ?
Atau apakah prototype kain kebaya harus diubah sehingga kebaya tidak
harus ngepas di badan tapi longgar dan tanpa kupnat yang berlebihan ?
Demikian juga dengan kain wironnya, apakah harus dipakai dengan longgar
dan tidak menyempit kebawah ? Tapi dengan demikian apakah nantinya tidak
jadi berkesan kebesaran, kedodoran dan kurang rapi serta menghilangkan
kesan keindahan dan keanggunan si pemakai ? Kenapa akhirnya jadi seperti
buah simalakama, jika kain kebaya dipakai dengan ketat dan ngepas
dibadan disatu sisi akan menimbulkan kesan keanggunan dan keindahan,
tapi di sisi lain bisa mengundang hawa nafsu lelaki. Sebaliknya jika
kebayanya longgar dan kainnya juga dipakai dengan longgar akan
menimbulkan kesan kebesaran, kedodoran, kurang rapi dan menghilangkan
kesan keanggunan serta keindahan, walaupun pada akhirnya tidak
mengundang hawa nafsu para lelaki.
Selanjutnya jika kain kebaya
dipakai dengan ngepas dibadan, apa bedanya dengan bikini ? Keduanya
sama-sama mengundang nafsu para lelaki. Bedanya bikini cenderung
menggoda nafsu para lelaki yang sok kebarat-baratan, sedangkan kain
kebaya cenderung menggoda nafsu para lelaki aristokrat Jawa yang
konvensional dan kolot. Bedanya lagi bikini mengumbar bagian-bagian
tubuh yang cukup pribadi untuk dilihat para lelaki, sedangkan kain
kebaya dengan malu-malu cukup memperlihatkan siluet keindahan pemakainya
dari payudara, pinggang dan pinggul. Sehingga cocok untuk para lelaki
yang malu-malu tapi mau.
Lantas kenapa pula dulu suamiku bisa
tertarik ketika aku memakai pakaian mini, tapi sekarang ia tidak
bergairah lagi sesudah ia melihatku mamakai kain kebaya.
Renungan
Sri pun semakin melantur hingga sampai ke soal busana. Dan karena tidak
kunjung mendapatkan jawabannya, akhirnya Sri pun kecapaian dan jatuh
tertidur.
Sebentar kemudian Sri terbangun dari tidurnya. Sekarang
seluruh pikirannya sudah tertuju dan ia bertekad bulat untuk
menyembuhkan suaminya dari kelainannya. Sri mengesampingkan usulan untuk
menyiksa suaminya dengan lebih kejam dan membawa suaminya keluar rumah
dengan memakai pakaian perempuan. Maka ia pun berdandan dengan
cantiknya seperti mau pergi kondangan dengan pakaian kain kebaya,
setelah mengetahui suaminya ada di rumah. Sesudah selesai berdandan
lengkap dengan sanggul, selendang dan sandal jinjit, ia pun keluar kamar
dan menghampiri Kiko yang masih duduk di kursi panjang. Begitu tahu
isterinya memakai kain kebaya lengkap, bukannya Kiko menatap dengan
tajam dan memuji-muji, tapi ia melihat dengan kikuk. Sri jadi bingung,
tapi ia tidak patah semangat. Sri kemudian duduk dipangkuan Kiko.
Dibelainya dagu dan wajah Kiko serta diciumnya Kiko. Kiko bukannya jadi
bergairah dan bangkit semangatnya, tapi malah jadi semakin kikuk. Tapi
Sri merasakan benjolan senjata Kiko yang mulai menegang. Sesudah itu Sri
bangun dari pangkuan Kiko dan ditariknya tangan Kiko supaya Kiko
bangun, karena Sri bermaksud mengajak Kiko naik ke ranjang. Tapi Kiko
cuek dan melepaskan tangannya dari genggaman Sri. Akhirnya Sri pun pergi
ke kamar. Sampai di dalam kamar, ditutupya pintu kamar dan Sri
menjatuhkan diri ke ranjang dalam posisi telungkup. Sesudah itu
meledaklah tangisnya. Sebentar kemudian Kiko menyusul. Tapi di ambang
pintu begitu Kiko melihat Sri menangis, Kiko hanya diam bingung dan berdiri
mematung.
Senin, 15 September 2014
Renungan seorang isteri
Label:
BDSM
,
bondage
,
crossdresser
,
jarik
,
kain batik
,
kain kebaya
,
kain panjang
,
kain wiron
,
kebaya
,
transgender
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar