Selasa, 28 Mei 2013
Amber
Jumat, 24 Mei 2013
tailor-made
Jaman sekarang memang serba praktis. Semua orang mintanya serba
cepat, serba instan. Kalau mie namanya mie instan. Tidak cuma mie saja,
spagethi sekarang juga sudah ada yang instan. Demikian juga dengan
bumbu.
Pakaian pun sekarang sudah ada yang dibuat versi instannya. Maksud saya adalah kain batik yang biasa digunakan sebagai bawahan dari kebaya kalau menurut pakem aslinya sebelum mengalami modifikasi dan modernisasi. Kain batik yang sebelah ujung luarnya di lipat-lipat seperti kipas atau diwiru.
Sekarang atau tepatnya sudah bertahun-tahun bahkan mungkin sudah lebih dari 1 dasawarsa, kain batik sudah bisa dijahit menjadi seperti rok bahkan depannya juga diwiru. Sehingga pemakaiannya jadi praktis. Tinggal dipakai seperti rok, dimasukkan dari bawah. Jadi si pemakai tidak usah repot-repot menyilangkan kedua kaki atau merapatkan kedua kaki atau memajukan sedikit salah satu kakinya untuk mulai memakai kain batik. Kedua tangan pun tidak usah repot-repot memegangi ujung kain dan memutar kain batik mengelilingi pinggang sambil menarik-narik dengan kuat atau menggeser-geser bila ujung luar kain jatuhnya tidak pas ditengah agak ke kanan sedikit. Belum lagi masih perlu mengikat kencang-kencang pinggang dengan tali supaya kain tidak melorot.
Semua hal diatas tidak perlu dilakukan bila kain batik sudah dijahit menjadi rok atau sarimbit. Cukup dimasukkan dari bawah. Waktu yang diperlukan untuk memakai otomatis jadi lebih singkat.
Kain batik yang dijahit menjadi rok pun macamnya ada banyak lebih dari satu. Ada yang sama sekali tidak dipotong, sehingga paling mirip dengan kain wiron asli yang masih lembaran. Ada yang dipotong dan dijahit disamping-sampingnya dengan demikian jika diamat-amati dari sisi-sisinya akan kelihatan kalau sudah dijahit. Ada pula yang wironnya tidak bisa membuka sampai ke atas, sehingga bila berjalan akan ketahuan kalau kainnya sudah dijahit. Bahkan ada pula yang bagian wiron sebelah bawah sengaja diberi bukaan dengan maksud untuk memudahkan si pemakai melangkah lebih lebar. Atau malah lebih ekstrim lagi dibuat rok yang melebar ke bawah atau pun yang sampai model duyung.
Kain batik yang sudah dijahit dari segi waktu pemakaian memang akan lebih hemat. Demikian juga sesudah dicuci, kita tidak perlu mewirunya lagi. Tapi dari segi ekonomi otomatis memerlukan biaya untuk menjahitkan. Dan logikanya, sesuatu yang dijahit akan bisa robek atau lepas jahitannya. Demikian juga dengan kain batik yang sudah dijahit. Jadi lebih awet jika masih berupa kain batik lembaran.
Rupanya kecenderungan untuk serba praktis tidak hanya terjadi pada orang awam kebanyakan yang sebenarnya tidak senang memakai kain kebaya tapi terpaksa memakai kain wiron untuk acara tertentu. Penyanyi-penyanyi campursari yang nyambi jadi pesinden pun sebagian memilih memakai kain batik yang sudah dijahit untuk bawahan kebayanya pada waktu pentas. Terutama untuk generasi yang masih muda.
Lucunya ada seorang pesinden yang biasa menjahitkan kain batiknya dengan model dipotong sisi-sisinya mengeluh kain jariknya ( yang sudah dijahit ) jadi mudah rusak atau robek dan minta alamat dari penjahit yang bisa menjahitkan kain batik tanpa memotongnya sama sekali. Saya pun memberi komentar begini, apa tidak lebih baik dibiarkan berupa kain batik lembaran saja. Jadi bisa awet lebih lama. Cuma kalau habis dicuci langsung di wiru. Memakainya tinggal di putar ke sekeliling pinggang kita ( walaupun pada kenyataannya lebih sulit ). Sekalian belajar ngadi salira ngadi busono.
Pakaian pun sekarang sudah ada yang dibuat versi instannya. Maksud saya adalah kain batik yang biasa digunakan sebagai bawahan dari kebaya kalau menurut pakem aslinya sebelum mengalami modifikasi dan modernisasi. Kain batik yang sebelah ujung luarnya di lipat-lipat seperti kipas atau diwiru.
Sekarang atau tepatnya sudah bertahun-tahun bahkan mungkin sudah lebih dari 1 dasawarsa, kain batik sudah bisa dijahit menjadi seperti rok bahkan depannya juga diwiru. Sehingga pemakaiannya jadi praktis. Tinggal dipakai seperti rok, dimasukkan dari bawah. Jadi si pemakai tidak usah repot-repot menyilangkan kedua kaki atau merapatkan kedua kaki atau memajukan sedikit salah satu kakinya untuk mulai memakai kain batik. Kedua tangan pun tidak usah repot-repot memegangi ujung kain dan memutar kain batik mengelilingi pinggang sambil menarik-narik dengan kuat atau menggeser-geser bila ujung luar kain jatuhnya tidak pas ditengah agak ke kanan sedikit. Belum lagi masih perlu mengikat kencang-kencang pinggang dengan tali supaya kain tidak melorot.
Semua hal diatas tidak perlu dilakukan bila kain batik sudah dijahit menjadi rok atau sarimbit. Cukup dimasukkan dari bawah. Waktu yang diperlukan untuk memakai otomatis jadi lebih singkat.
Kain batik yang dijahit menjadi rok pun macamnya ada banyak lebih dari satu. Ada yang sama sekali tidak dipotong, sehingga paling mirip dengan kain wiron asli yang masih lembaran. Ada yang dipotong dan dijahit disamping-sampingnya dengan demikian jika diamat-amati dari sisi-sisinya akan kelihatan kalau sudah dijahit. Ada pula yang wironnya tidak bisa membuka sampai ke atas, sehingga bila berjalan akan ketahuan kalau kainnya sudah dijahit. Bahkan ada pula yang bagian wiron sebelah bawah sengaja diberi bukaan dengan maksud untuk memudahkan si pemakai melangkah lebih lebar. Atau malah lebih ekstrim lagi dibuat rok yang melebar ke bawah atau pun yang sampai model duyung.
Kain batik yang sudah dijahit dari segi waktu pemakaian memang akan lebih hemat. Demikian juga sesudah dicuci, kita tidak perlu mewirunya lagi. Tapi dari segi ekonomi otomatis memerlukan biaya untuk menjahitkan. Dan logikanya, sesuatu yang dijahit akan bisa robek atau lepas jahitannya. Demikian juga dengan kain batik yang sudah dijahit. Jadi lebih awet jika masih berupa kain batik lembaran.
Rupanya kecenderungan untuk serba praktis tidak hanya terjadi pada orang awam kebanyakan yang sebenarnya tidak senang memakai kain kebaya tapi terpaksa memakai kain wiron untuk acara tertentu. Penyanyi-penyanyi campursari yang nyambi jadi pesinden pun sebagian memilih memakai kain batik yang sudah dijahit untuk bawahan kebayanya pada waktu pentas. Terutama untuk generasi yang masih muda.
Lucunya ada seorang pesinden yang biasa menjahitkan kain batiknya dengan model dipotong sisi-sisinya mengeluh kain jariknya ( yang sudah dijahit ) jadi mudah rusak atau robek dan minta alamat dari penjahit yang bisa menjahitkan kain batik tanpa memotongnya sama sekali. Saya pun memberi komentar begini, apa tidak lebih baik dibiarkan berupa kain batik lembaran saja. Jadi bisa awet lebih lama. Cuma kalau habis dicuci langsung di wiru. Memakainya tinggal di putar ke sekeliling pinggang kita ( walaupun pada kenyataannya lebih sulit ). Sekalian belajar ngadi salira ngadi busono.
Label:
jarik
,
kain kebaya
,
kain panjang
,
kain wiron
,
kebaya
,
tailor-made
Selasa, 14 Mei 2013
Stopcrossdressing really stop ? An orbituary
Situs
ini adalah merupakan salah satu situs yang kadang-kadang saya kunjungi.
Isinya kurang lebih mengenai crossdressing yang setuju atau tidak bisa
disebut sebagai suatu kecanduan ataupun kelainan dan cara-cara untuk
mengatasinya jika kita memang ingin berhenti atau mungkin sekedar
mengurangi kecanduan kita akan crossdressing.
Kemarin ketika saya berniat mengunjungi situs ini ternyata tidak bisa ditemukan dan setelah googling, saya berkesimpulan kalau situs ini sudah ditutup oleh yang punya.
Terakhir kali saya mengunjungi situs ini, saya sempat membaca artikel yang isinya mengatakan kalau ia, yang empunya ingin menutup situs ini. Karena bagaimanapun jika menulis atau memikirkan tentang crossdressing, kita bisa tergoda kembali untuk melakukan hal itu.
Memang sayang melihat situs ini ditutup, karena artikel-artikelnya cukup bermutu dan mungkin juga bermanfaat bagi seorang crossdresser. Selain itu, situs ini kelihatannya sudah cukup terkenal dan juga dijadikan link oleh situs-situs atau blog-blog lain.
Secara tak sengaja melihat kejadian ini , sebuah situs yang ditutup ketika sedang berjaya seakan mengingatkan kepada suatu pepatah yang mengatakan lebih baik mundur ketika masih sukses daripada mundur setelah tidak sukses atau gagal. Dalam bahasa Jawa ada pepatah yang berbunyi "lengser keprabon mandeg pandito". Dari abu kembali menjadi abu, dari debu kembali menjadi debu. Sampai jumpa lagi Jared !
English
This site is one of the sites that I visit occasionally. The content is about crossdressing that agree or not can be referred to as an addiction or disorder and the ways to overcome it if we really want to quit or maybe just reducing our addiction to crossdressing.
Yesterday when I intend to visit this site, it can not be found and after googling, I concluded that the site had been closed by the owner.
The last time I visited this site, I had read an article that it says that he, the owner wanted to close this site. Because after all, if writing or thinking about crossdressing, we could be tempted back to do that.
It's a shame to see this site shut down, because the articles are in quite good quality and may also be useful for a crossdresser. Beside that, the site looks already quite well known and linked by the other sites or blogs.
Accidentally saw this scene, a site which is closed while it is succesful as if remind us of an adage that says it's better retreat while succesful than retreat after unsuccessful. In Javanese language there is a proverb that says "resign from empire, stop as reverend". Ashes to ashes, dust to dust. See you again Jared !
Kemarin ketika saya berniat mengunjungi situs ini ternyata tidak bisa ditemukan dan setelah googling, saya berkesimpulan kalau situs ini sudah ditutup oleh yang punya.
Terakhir kali saya mengunjungi situs ini, saya sempat membaca artikel yang isinya mengatakan kalau ia, yang empunya ingin menutup situs ini. Karena bagaimanapun jika menulis atau memikirkan tentang crossdressing, kita bisa tergoda kembali untuk melakukan hal itu.
Memang sayang melihat situs ini ditutup, karena artikel-artikelnya cukup bermutu dan mungkin juga bermanfaat bagi seorang crossdresser. Selain itu, situs ini kelihatannya sudah cukup terkenal dan juga dijadikan link oleh situs-situs atau blog-blog lain.
Secara tak sengaja melihat kejadian ini , sebuah situs yang ditutup ketika sedang berjaya seakan mengingatkan kepada suatu pepatah yang mengatakan lebih baik mundur ketika masih sukses daripada mundur setelah tidak sukses atau gagal. Dalam bahasa Jawa ada pepatah yang berbunyi "lengser keprabon mandeg pandito". Dari abu kembali menjadi abu, dari debu kembali menjadi debu. Sampai jumpa lagi Jared !
English
This site is one of the sites that I visit occasionally. The content is about crossdressing that agree or not can be referred to as an addiction or disorder and the ways to overcome it if we really want to quit or maybe just reducing our addiction to crossdressing.
Yesterday when I intend to visit this site, it can not be found and after googling, I concluded that the site had been closed by the owner.
The last time I visited this site, I had read an article that it says that he, the owner wanted to close this site. Because after all, if writing or thinking about crossdressing, we could be tempted back to do that.
It's a shame to see this site shut down, because the articles are in quite good quality and may also be useful for a crossdresser. Beside that, the site looks already quite well known and linked by the other sites or blogs.
Accidentally saw this scene, a site which is closed while it is succesful as if remind us of an adage that says it's better retreat while succesful than retreat after unsuccessful. In Javanese language there is a proverb that says "resign from empire, stop as reverend". Ashes to ashes, dust to dust. See you again Jared !
Label:
crossdresser
,
crossdressing
,
Stopcrossdressing
Senin, 13 Mei 2013
Seragam sekolah
Entah kenapa sebuah tayangan tentang seragam sekolah di acara
Suka-suka Kompastv ini bisa menarik perhatian saya. Dimulai dengan
seragam sekolah pertama di dunia yang dipelopori oleh negara Inggris.
Kemudian ulasan berlanjut untuk kawasan Asia tepatnya Jepang dimana dulu
seragam sekolahnya berupa kimono. Baru setelah ada pengaruh dari Barat,
maka seragam untuk siswi berubah menjadi mirip seperti pelaut. Dan
akhirnya tentu saja juga dibahas seragam sekolah di negara kita tercinta
Indonesia.
Kalau jaman sekarang seragam sekolah pada umumnya adalah rok dan baju untuk para siswi. Atau celana dan baju untuk para siswa. Maka seragam sekolah untuk siswi pribumi di jaman penjajahan Belanda dahulu adalah kain jarik dan kebaya serta tentu saja dengan rambut yang disanggul. Sedangkan untuk para siswi yang keturunan Belanda, pakaiannya adalah rok.
Bisa dibayangkan betapa feminin dan anggunnya para siswi pribumi dahulu. Betapa gandes luwesnya mereka. Tiap hari berjalan dari rumah ke sekolah dengan memakai kain dan kebaya, mungkin mereka memegang payung di sebelah tangan dan juga selendang serta tas atau buku-buku. Atau mereka malah naik sepeda walaupun mungkin agak kesulitan kalau kain jariknya kesempitan memakainya hingga perlu dicincing atau dinaikkan ke atas sedikit. Tapi melihat foto-foto dokumentasi atau video-video hitam putih jaman dulu rata-rata mereka memakai kain jarik dengan agak longgar dan tidak begitu menyempit atau meruncing kebawah. Sehingga mereka mungkin tidak begitu kesulitan jika harus mengayuh sepeda dengan memakai kain jarik.
Cuma untuk pelajaran olahraga, kalau dahulu ada. Saya masih sulit untuk membayangkan bagaimana para siswi yang memakai kain dan kebaya ini harus berolah raga. Kalau untuk upacara bendera sebagai petugas pengibar bendera mungkin masih mudah. Karena cuma harus berjalan dengan langkah tegap walaupun berkain kebaya. Atau senam juga mungkin tidak kesulitan, paling pada waktu harus membuka kedua kaki lebar-lebar terhalang oleh kain jariknya. Juga pada waktu gerakan menendang, kaki jadi tidak bisa terlalu keatas. Karena terhalang oleh kain jarik. Kecuali kainnya dicincing atau dinaikkan terlebih dahulu. Tapi jika harus lari dengan memakai kain kebaya, bisa-bisa mereka kesrimpet-srimpet kain jarik mereka sendiri dan akhirnya kain jarik mereka jadi kedodoran. Yang lebih parah mereka mungkin bisa jatuh kesrimpet kain jarik mereka sendiri. Padahal dulu ada sebuah permainan olahraga yang terkenal waktu jaman Belanda yaitu kasti dan di dalam permainan itu para pemainnya harus berlari dari suatu tempat ke tempat lain serta harus menghindar dari lemparan bola yang ditujukan kepada yang bersangkutan kalau perlu dengan berguling-guling di tanah. Belum lagi kalau harus loncat tinggi atau lompat jauh. Atau mungkin dulu juga sudah ada pakaian olah raga berupa kaos dan celana olahraga seperti sekarang.
Kemudian tayangan ini ditutup dengan komentar dari hostnya yang kurang lebih begini, bagaimana kalau sekarang kain kebaya itu diterapkan menjadi seragam para siswi di sekolah-sekolah di Indonesia ? Bisa dibayangkan setiap pagi harus bangun subuh-subuh untuk pasang sanggul. Belum lagi makai kain jarik wironnya. Terus nanti kalau berangkat ke sekolahnya naik bus. Apalagi kalau di sekolah kebelet pipis.
Tapi pakaian nasional kain kebaya ini sudah dijadikan sebagai pakaian yang wajib dikenakan oleh para pegawai negeri di Solo walaupun cuma seminggu sekali waktu pak Jokowi masih menjabat sebagai wali kota Solo. Itu pun sudah mengundang pro dan kontra. Sekarang apakah kewajiban itu masih berjalan ?
Kesimpulannya ternyata sekarang fungsi kain kebaya sudah berkurang. Dulu dijadikan sebagai seragam sekolah, sekarang digantikan oleh baju dan rok. Kemudian pada waktu jaman Orde Baru masih menjadi pakaian pesta nasional. Sekarang sudah tergantikan oleh pakaian pesta yang berasal dari negara Barat.
Kalau jaman sekarang seragam sekolah pada umumnya adalah rok dan baju untuk para siswi. Atau celana dan baju untuk para siswa. Maka seragam sekolah untuk siswi pribumi di jaman penjajahan Belanda dahulu adalah kain jarik dan kebaya serta tentu saja dengan rambut yang disanggul. Sedangkan untuk para siswi yang keturunan Belanda, pakaiannya adalah rok.
Bisa dibayangkan betapa feminin dan anggunnya para siswi pribumi dahulu. Betapa gandes luwesnya mereka. Tiap hari berjalan dari rumah ke sekolah dengan memakai kain dan kebaya, mungkin mereka memegang payung di sebelah tangan dan juga selendang serta tas atau buku-buku. Atau mereka malah naik sepeda walaupun mungkin agak kesulitan kalau kain jariknya kesempitan memakainya hingga perlu dicincing atau dinaikkan ke atas sedikit. Tapi melihat foto-foto dokumentasi atau video-video hitam putih jaman dulu rata-rata mereka memakai kain jarik dengan agak longgar dan tidak begitu menyempit atau meruncing kebawah. Sehingga mereka mungkin tidak begitu kesulitan jika harus mengayuh sepeda dengan memakai kain jarik.
Cuma untuk pelajaran olahraga, kalau dahulu ada. Saya masih sulit untuk membayangkan bagaimana para siswi yang memakai kain dan kebaya ini harus berolah raga. Kalau untuk upacara bendera sebagai petugas pengibar bendera mungkin masih mudah. Karena cuma harus berjalan dengan langkah tegap walaupun berkain kebaya. Atau senam juga mungkin tidak kesulitan, paling pada waktu harus membuka kedua kaki lebar-lebar terhalang oleh kain jariknya. Juga pada waktu gerakan menendang, kaki jadi tidak bisa terlalu keatas. Karena terhalang oleh kain jarik. Kecuali kainnya dicincing atau dinaikkan terlebih dahulu. Tapi jika harus lari dengan memakai kain kebaya, bisa-bisa mereka kesrimpet-srimpet kain jarik mereka sendiri dan akhirnya kain jarik mereka jadi kedodoran. Yang lebih parah mereka mungkin bisa jatuh kesrimpet kain jarik mereka sendiri. Padahal dulu ada sebuah permainan olahraga yang terkenal waktu jaman Belanda yaitu kasti dan di dalam permainan itu para pemainnya harus berlari dari suatu tempat ke tempat lain serta harus menghindar dari lemparan bola yang ditujukan kepada yang bersangkutan kalau perlu dengan berguling-guling di tanah. Belum lagi kalau harus loncat tinggi atau lompat jauh. Atau mungkin dulu juga sudah ada pakaian olah raga berupa kaos dan celana olahraga seperti sekarang.
Kemudian tayangan ini ditutup dengan komentar dari hostnya yang kurang lebih begini, bagaimana kalau sekarang kain kebaya itu diterapkan menjadi seragam para siswi di sekolah-sekolah di Indonesia ? Bisa dibayangkan setiap pagi harus bangun subuh-subuh untuk pasang sanggul. Belum lagi makai kain jarik wironnya. Terus nanti kalau berangkat ke sekolahnya naik bus. Apalagi kalau di sekolah kebelet pipis.
Tapi pakaian nasional kain kebaya ini sudah dijadikan sebagai pakaian yang wajib dikenakan oleh para pegawai negeri di Solo walaupun cuma seminggu sekali waktu pak Jokowi masih menjabat sebagai wali kota Solo. Itu pun sudah mengundang pro dan kontra. Sekarang apakah kewajiban itu masih berjalan ?
Kesimpulannya ternyata sekarang fungsi kain kebaya sudah berkurang. Dulu dijadikan sebagai seragam sekolah, sekarang digantikan oleh baju dan rok. Kemudian pada waktu jaman Orde Baru masih menjadi pakaian pesta nasional. Sekarang sudah tergantikan oleh pakaian pesta yang berasal dari negara Barat.
Label:
jarik
,
kain kebaya
,
kain panjang
,
kain wiron
,
kebaya
,
Kompastv
,
sanggul
,
Suka-suka
Langganan:
Postingan
(
Atom
)