tJeSiLC_vQ4EjbqutLiN10g1b3k

Senin, 18 Agustus 2014

Derita seorang ibu 2

Ini adalah lanjutan kisah "Derita seorang ibu". Dimana pada akhir cerita terdahulu Sri tertelungkup di lantai dalam keadaan tangan dan kaki terikat serta menangis sambil memohon-mohon kepada suaminya untuk melepaskannya. Sang suami, Kiko Sujaryanto tidak menggubris permintaan isterinya, tapi malah terus mengambil video isterinya hingga Sri akhrnya kecapaian dan berhenti menangis serta memohon.

Kemudian Kiko menghampirinya dan membimbingnya duduk di kursi. Tapi Kiko tidak juga bersegera melepaskan ikatan tangan dan kaki isterinya. Ia malah mendekap isterinya dan menciuminya sambil berkata lirih, "Makanya jadi isteri harus nurut sama suami. Sekarang engkau tidak berdaya bukan ? Tangan dan kakimu terikat. Sri, dalam keadaan seperti ini aku malah semakin terangsang dan semakin sayang sama kamu !". Kemudian ia mendudukkan isterinya kepangkuannya dan senjatanya mulai menegang dan membesar. Setelah itu ia membuka celananya dan memuntahkan air maninya ke tubuh isterinya. Masih belum habis, Kiko memasukkan senjatanya ke mulut Sri.

Setelah selesai permainan itu barulah Kiko membuka ikatan tangan dan kaki Sri. Malam harinya ketika menjelang tidur, pikiran Sri jadi bergolak. Karena perlakuan suaminya yang agresif dan brutal terhadap dirinya. Ia jadi takut begaimana dengan hari-hari selanjutnya karena ia masih harus memakai kain kebaya. Pakaian yang tidak saja membuat suaminya jadi tergila-gila kepadanya, tapi juga agresif dan brutal terhadapnya. Pikiran Sri jadi kalut. Ia memang senang terhadap perlakuan suaminya yang semakin tergila-gila dan agresif kepadanya, tapi tidak dengan kebrutalan suaminya terhadap dirinya.

Sejak itulah Sri seperti terjebak di antara dua perasaan. Senang dan bahagia melawan takut serta ngeri terhadap kebrutalan suaminya. Pikirannya jadi bingung dan terombang-amgbing. Galau. Ia mengakui kalau ia memang kelihatan lebih cantik, anggun dan sexy dengan pakaian kain kebaya semacam itu. Sekalipun ia harus terkekang dalam setiap gerak langkahnya, tapi ia bisa menerima semuanya itu. Yang ia tidak bisa terima adalah perlakuan brutal suaminya.

Hari-hari berlalu dimana Sri harus menjalani semuanya ini. Momong bayi sambil berkain kebaya. Sementara suaminya tergila-gila padanya dan memperlakukannya dengan manja. Sampai pada perlakuan brutal suaminya apabila hasrat suaminya sudah tidak bisa dibendung lagi. Perlakuan suaminya inilah yang membuatnya bingung dan tidak mengerti. Karena apabila hasrat suaminya masih belum memuncak, maka suaminya akan berlaku sangat manis kepadanya dengan merayu-rayunya, memangku, membopong, menciuminya. Tapi apabila hasrat suaminya sudah memuncak, maka dengan tanpa ampun suaminya itu akan berlaku brutal kepadanya. Mulai dengan mengikat tangan dan kakinya serta kekerasan-kekerasan fisik akan diterimanya.

Di dalam keterbatasan waktu yang ada, Sri berusaha mencari tahu dan akhirnya mendapati kalau apa yang dilakukan suaminya kepada dirinya adalah semacam kelainan perilaku sexual yang disebut BDSM. Sri jadi maklum dan malah sedikit menaruh iba kepada suaminya. Ia jadi pasrah dan bisa menerima perlakuan suaminya itu. Apalagi keharusan memakai kain kebaya oleh mertuanya hanya berlaku selama 40 hari setelah melahirkan. Sejak saat itu, setiap kali suaminya berlaku brutal dengan mengikat dirinya Sri hanya diam tidak berontak. Tapi ia tetap tidak bisa menahan diri untuk menjerit kesakitan sampai menangis, bila suaminya mulai melakukan kekerasan fisik terhadap dirinya.

Disamping itu ia juga membaca artikel-artikel yang berhubungan dengan ibu yang melahirkan. Dalam artikel-artikel itu biasanya tertulis, betapa berat beban yang harus ditanggung seorang ibu. Betapa menderitanya seorang ibu yang melahirkan. Mulai dari hamil, melahirkan dan momong bayi sampai pada perwwatan tubuh pasca melahirkan. Ternyata memang betul juga apa yang dikatakan mertuanya yaitu keharusan untuk memakai kain dan stagen supaya bentuk badan bisa pulih dan kembali singset seperti semula. Disamping tentu saja minum jamu dan perawatan dari luar seperti tapel, pilis serta parem. Ia sekarang jadi maklum kepada mertuanya. Tapi di dalam semua artikel-artikel yang ia baca, ia berpikir sayangnya tidak ada satupun artikel yang menerangkan risiko tambahan yang dapat timbul sehubungan dengan keharusan memakai kain dan stagen. Risiko itu berupa kemungkinan seorang isteri dibully oleh sang suami, karena suami yang maniak terhadap suatu pakaian yaitu kain kebaya yang dapat menimbulkan kesan erotis.Ia lalu kepikiran untuk menulis di internet dalam bentuk komentar di artikel-artikel semacam itu, risiko yang baru saja dialaminya. Supaya para wanita atau ibu-ibu yang lain waspada terhadap kemungkinan risiko semacam itu.

Ketika tiba harinya Sri sudah bebas untuk tidak memakai kain kebaya. Maka senang dan legalah hati Sri. Walaupun dalam hatinya ada juga sedikit rasa kehilangan. Rasa kehilangan akan perlakuan suaminya yang selalu memanjakan dan memuji-muji kecantikannya. Di lain pihak ia juga merasa lega, karena ia akan terbebas dari perlakuan brutal suaminya. Sementara suaminya sendiri kecewa dengan keadaan ini.

Pada hari itu juga pakaian-pakaian Sri yang disita oleh mertuanya dikembalikan kepada Sri dengan utuh. Selain itu sang mertua malah menghibahkan beberapa lembar kain batik, kebaya dan selendang kepada Sri. Sri hanya diam saja. Ia tidak bisa menolak. Hatinya bingung, pikirnya ini seperti buah simalakama. Kalau diterima akan menimbulkan kesempatan bagi suaminya untuk kembali berlaku brutal. Tapi bila ditolak, ia sendiri juga suka akan pakaian kain kebaya.

Akhirnya pakaian-pakaian itu hanya tersimpan saja didalam lemari pakaian. Beberapa kali suaminya menanyakan kenapa ia tidak memakai kain kebaya lagi, Sri menjawab besok kapan-kapan saja. Sesudah itu suaminya meminta dengan setengah mendesak kepada Sri untuk memakainya, tapi Sri tetap menolak. Pikirnya ini seperti kotak pandora. Sekali dibuka, isinya akan menyebar kemana-mana dan mendatangkan mala petaka lagi bagi dirinya. Melihat isterinya yang tetap teguh dan menolak permintaannya, sang suami merayu-rayunya. Tapi rupanya ketakutan Sri terhadap perlakuan brutal suaminya ternyata lebih besar daripada manisnya rayuan suaminya.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar